Gong Xi Fa Cai, selamat tahun
baru Imlek! “Yahhh Zop, lo telat amat
hari gini baru ngucapin. Kan tahun baru Imleknya udah kelwat.” Iya maklum,
gue kan orangnya sibuk. Lagian kalau gue baru ngucapi sekarang gak ada salahnya
kan? Yang penting adalah ucapannya, bukan kapan ngucapinnya. Menurut gue sih.
Oke, ngomongin soal Imlek. Ya,
tahun ini Imlek jatuh pada hari Minggu kemaren, tanggal 10 Februari. Nah kebetulan
hari itu gue seharian berada di perjalanan dari kampung halaman menuju ke
pinggiran Jakarta karena liburan semester 5 udah selesai. Jujur aja, gue lupa
kalau hari itu adalah tahun baru Imlek. Begitu sampai kosan sorenya, gue cuma
duduk bentar. Abis maghrib, gue langsung cabut karena udah janji mau ngajar les
murid gue. Abis ngajar, belum sempet ngapa-ngapain, cuma sempet sholat isya
doang, gue langsung diajak temen-temen IMAN (Ikatan Mahasiswa Nahdliyin) buat
menghadiri peringatan Maulid Nabi di Bintaro sektor 9 dengan pembicara Bapak
KH. Hasyim Muzadi waktu itu. Tentu saja gue gak pakai pikir panjang dan
langsung nurutin ajakan itu. Baru lah sepulang dari sana gue sempet buka
laptop, dan seperti biasa cuma buka Facebook dan Twitter. Tapi ada yang menarik
di sana. Terutama di Twitter, banyak sekali twit yang berisi tentang “Gus Dur”
dan “Imlek”. Oh ya benar, gue jadi inget bahwa guru kita, Gus Dur, pernah
berjasa besar dalam memperjuangkan “publikasi” Imlek di Republik Indonesia ini.
Nah dari melihat twit-twit itu lah, otak gue jadi terbesit buat bikin postingan
yang berisi tanya-jawab tentang Gus Dur dan Imlek ini.
Tanya-jawab, gue sebagai penanya,
dan tentu harus ada pihak yang menjawab dong. Dan gue pilih lah temen gue,
Fransiskus Indra Pratama. Dia adalah temen gue yang juga kuliah di STAN, kita sama-sama
pesulap, dan dia mempunyai garis keturunan Tionghoa. Nah cocok banget kan? Sebenernya
sih banyak yang bilang kalau muka gue juga mirip Tionghoa, tapi masa iya gue
yang nanya, gue juga yang jawab. Jadi aneh kan? “Lo ngomong gitu lagi gue mutilasi sumpah, Zop!” Hahahaha iya iya
bercanda. Nah, berhubung si Indra gak keberatan dan bersedia untuk gue tanyain,
langsung gue tanya-tanya ke dia. Dan kita simak tanya-jawab tersebut sekarang
juga!
Gue:
“Oke ndra. Pertanyaan pertama. Apa arti Imlek beserta perayaannya bagi temen-temen Tionghoa?”
“Oke ndra. Pertanyaan pertama. Apa arti Imlek beserta perayaannya bagi temen-temen Tionghoa?”
Indra:
“Imlek tuh perayaan tahun baru. Kan pas Imlek tepat tanggal 1 tahun Cina tuh. Ya kayak tahun baruan biasa. Kita keluarga besar kumpul-kumpul terus makan-makan.”
“Imlek tuh perayaan tahun baru. Kan pas Imlek tepat tanggal 1 tahun Cina tuh. Ya kayak tahun baruan biasa. Kita keluarga besar kumpul-kumpul terus makan-makan.”
Hmmm jadi mirip tahun baru
Hijriyah gitu kali ya? Kita kumpul berjamaah buat membaca doa-doa bersama
dilanjut makan-makan buat tasyakuran gitu. Oke, next!
Gue:
“Oh ya, kira2 apa yang dirasain masyarakat Tionghoa ketika dulu
perayaan Imlek sempet dilarang untuk dilakukan secara umum?”
Indra:
“Ya pastinya merasa didiskriminasikan, tertekan, dan marah lah.”
Gue:
“Iya pastinya ya? Nah itu kan gara-gara Inpres Nomor 14 Tahun 1967
kan ya? Sebagai warga RI yang juga keturunan Tionghoa, gimana tanggapan lo atas
peraturan tersebut?”
Indra:
“Eh peraturan apaan itu? Gue kok gak tahu.”
Gue:
“Yaelah kok lo malah gak tahu tuh gimana? Itu peraturan yang
isinya pembatasan perayaan masyarakat Tionghoa.”
Indra:
“Hahaha ya maklum. Gue kan hidup udah pada masa damai.”
Gue:
“Oke deh lanjut aja kalau gitu. Nah, Inpres tersebut dicabut oleh
Gus Dur, kira-kira sosok seperti apakah Gus Dur ini bagi lo pribadi dan
temen-temen Tionghoa?”
Indra:
"Gus Dur adalah sosok yang mau menerima dan menghargai
perbedaan. Dan sosok yang sangat berjasa sehingga terbukanya kesempatan untuk
mengekspresikan diri sebagai orang Tionghoa.”
Gue:
“Maaf nih, ndra. Sedikit keluar dari masalah Imlek. Gue pernah lihat
sendiri di youtube bahwa Gus Dur mendukung Pak Ahok waktu nyalonin jadi
gubernur Bangka Belitung tahun 2007. Tapi kemarin ada "beberapa
golongan" Islam, yang seakan tidak setuju pencalonan Pak Ahok sebagai Cawagub DKI. Apa tanggapan lo mengenai hal ini?”
Indra:
“Mmmm kalo gue pribadi sih biasa-biasa aja. Gue ngeliat itu cuma
isu untuk menarik dukungan pada pasangan yang lain. Toh ini negara indonesia,
negara multikultural. Asal dia WNI maka dia dapat mencalonkan diri dong.”
Gue:
“Iya bener banget. Oh ya, ngomong-ngomong kalau pada waktu
sekarang ini, maaf ya, masih ada gak hal-hal yang “berbau” diskriminasi bagi
masyarakat Tionghoa?”
Indra:
“Oh ya menurut gue ada. Jadi gini ceritanya. Waktu nyokap gue
mau bikin paspor kemaren, di situ disuruh nyertain surat keterangan sudah WNI,
dan juga surat keterangan orang tuanya juga. Padahal dari lahir sudah di
Indonesia.”
Gue:
“Maaf nih, ndra. Intinya nyokap lo "seolah dianggap"
bukan WNI gitu?”
Indra:
“Gak ngerti dah. Emang susah sih kalo muka Cina. Wkwkwkwk.
Pokoknya pas bikin paspor gitu lah, diminta surat keterangan WNI, terus surat
sudah melepaskan kewarganegaraan Tionghoa nya engkong.”
Gue:
“Wah parah banget berarti ya. Oke pertanyaan terakhir nih. Waktu
peringatan 1000 hari meninggalnya Gus Dur, di situ banyak hadir temen-temen Tionghoa,
baik yang muslim maupun yang non muslim. Di sana Gus Mus menyuruh kami, orang
NU dan pengikut Gus Dur, untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur atas temen-temen Tionghoa.
Nah, kira-kira apa yang "masih" perlu kami lakukan buat melanjutkan
perjuangan itu?”
Indra:
“Mmmm gue kan sebagai mahasiswa tingkat akhir di STAN, yang
bentar lagi terjun di dunia birokrat. Gue sepintas ngeliat, orang-orang yang
keturunan tuh seperti di nomer-dua-kan bahkan kalo perlu dipersulit ini itunya
di dunia birokrasi. Gue sih berharap teman-teman dari NU mau membantu juga dalam
menyamaratakan warga keturunan maupun warga asli.”
Gue:
“Oke thanks banget, ndra. Semoga bermanfaat bagi gue pribadi dan
syukur-syukur manfaat juga bagi temen-temen yang laen. Sukses selalu.”
Indra:
“Oke sip sama-sama.”
Nah kisanak, jadi itu tadi sedikit
tanya-jawab gue dengan temen gue mengenai Gus Dur dan Imlek. Nah tapi gue gak
berhenti di sini. Soalnya kalau ngomongin tentang Gus Dur, tentu gak cuma Imlek
yang kita bicarakan. Tapi juga seluruh keberagaman dan perbedaan yang selalu
diperjuangkan oleh beliau. Nah maka dari itu gue minta tolong sama temen gue
lagi, Amri, untuk menjadi penjawab dari pertanyaan-pertanyaan gue lainnya. Amri
adalah temen sekelas gue sekarang, dia adalah seorang Kristian, tapi juga mengagumi
sosok Gus Dur. Kalau lo masih inget, dia adalah temen yang dulu menanyakan ke
gue kenapa gue mengucapkan selamat Natal ke dia, padahal gue adalah orang
Islam. Oke langsung aja, kita simak tanya-jawab gue dengan Mas Amri ini.
Gue:
“Mas, mas kan kagum gitu sama Gus Dur, nah menurut mas, Gus Dur
itu sosok yang gimana?”
Amri:
“Ya gak jauh beda dengan kabar pada umumnya.
Menurut saya pribadi, Gus Dur
itu sosok yg “luar biasa”. Benar-benar bapak pluralisme
yg bisa dibilang pahlawan bagi kaum-kaum minoritas. Bahkan baru-baru
ini beliau dapat anugerah "Legacies
of Pluralisme, Diversity and Democracy' (Pusaka-pusaka Pluralisme,
Kebhinnekaan, dan Demokrasi). Sungguh pencapaian yg luar biasa.”
Gue:
“Wah mas sampai tahu segitunya. Hebat. Oke mas, kemaren kan kita
baru saja diramaikan dengan perayaan Imlek. Dan kita tahu, Gus Dur berperan dalam
mempublikasikan Imlek di Indonesia. Menurut mas, apa yang dirasakan temen-temen
Tionghoa dengan adanya peran Gus Dur ini?”
Amri:
“Kalau ngomong perasaan masyarakat Tionghoa saya tidak tau “pasti”,
mas. Karna saya sendiri bukan orang Tionghoa. Hahahaha. Namun, menurut terkaan
saya, perasaan mereka senang, gembira,
dan bahagia. Mungkin kalau dulu tidak ada Gus Dur, jumlah penduduk Tionghoa yg
ada di Indonesia sekarang, bisa dibilang tinggal hitungan jari saja.”
Gue:
“Hmmm oke lanjut. Sekarang gak lagi ngomongin Imlek. Sebagai umat
Kristiani, yang mas rasakan ada gak peran nyata Gus Dur dalam membantu
teman-teman Kristiani?”
Amri:
“Salah satu peran Gus Dur yang masih jelas dan masih
terkenang-kenang dalam ingatan saya adalah dalam hal pembangunan rumah
ibadah, mas. Dan ini saya alami sendiri. Sekedar sharing aja nih, mas. Dulu
zaman pra Gus Dur, di daerah saya, untuk bangun rumah ibadah bagi kaum
minoritas terbilang sulit, berbeda dengan kaum mayoritas. Saya tidak bermaksud
menyalahkan agama apapun. Karna saya yakin tidak ada agama yg tidak baik.
Namun, orang-orang yang menjalankannyalah yg terkadang “kurang baik”. Ya syukur
pada Yang Maha Kuasa, setelah ada Gus Dur, pembangunan rumah ibadah di daerah
sya lebih mudah atau tidak dipersulit seperti sebelumnya. Dan saya pernah
dengar perkataan beberapa orang tua di daerah saya, kata mereka, Gus Dur pernah
bilang, “kenapa kalau untuk bangun rumah ibadah kaum mayoritas itu mudah, tapi
untuk kaum minoritas cenderung dipersulit”. Namun saya gak tau perkataan itu
benar atau tidak diucapkan beliau, yang pasti perkataan itu sudah tidak asing
lagi di daerah saya, mas.”
Gue:
“Wah ternyata mas ngerasain sendiri yang kayak gitu ya. Tapi syukur
kalau sekarang udah gak gitu lagi. Oke pertanyaan berikutnya. Sebagai referensi
dan pengetahuan saya, setahu mas, ada gak kegiatan-kegiatan yang dilakukan
temen-temen non muslim yang merupakan wujud kagum dan rasa terima kasih kepada
Gus Dur?”
Amri:
“Mungkin yang saya tahu dan sudah alami langsung adalah gelar do’a bersama buat alamarhum. Kalau
wujud langsung sebagai rasa terima kasih kepada almarhum saya kurang begitu
tahu, mas. Namun, saya yakin itu “pasti ada”.
Lagi pula wujud terimakasih itu tidak selamanya berupa materi dan uang
kan? Bisa aja dalam berupa penerimaan ajaran beliau. Contohnya, kalau di daerah
saya itu, dulunya kaum mayoritas dan
minoritas itu tidak terlalu begitu kompak, mas. Tapi sekarang ini, semenjak ada
beliau, hubungan antara kaum mayoritas
dan minoritas itu dekat sekali.
Contohnya, kalau ada teman Muslim yang melakukan pesta pernikahan, maka yg Kristen
nya ikut membantu dan yg Muslim sangat menerima. Dan begitu juga sebaliknya. Padahal
kita tahu, di daerah lain, maaf, jangankan mau membantu, tidak semua kaum
mayoritas mau menyentuh piring tempat makan orang Kristen.”
Gue:
“Wah syukur banget berarti. Pertanyaan terakhir. Saya dan
temen-temen lain sebagai NU dan pengikut Gus Dur, sudah sepantasnya meneruskan
perjuangan beliau. Kira-kira ada masukan apa buat kami untuk secara nyata
melanjutkan perjuangan Gus Dur tersebut?”
Amri:
“Harapan saya semoga NU dan pengikut Gus Dur “benar-benar”
melanjutkan perjuangan almarhum. Artinya, pengikut NU dan Gus Dur itu harus sepaham
dulu karna bisa aja kan mas kalau dalam internalisasi organisasi itu terdapat
perbedaan pendapat. Namun ada baiknya perbedaan itu diminimalisir. Sukses
selalu. Do’a kami di nadimu para pengikut NU.”
Gue:
“Oke terima kasih banget mas.”
Amri:
“Oh ya, kalau boleh Sedikit tambahan, mas. Contoh konkret ajaran
Gus Dur yang bisa saya ambil dari peristiwa kemarin, banjir Jakarta, adalah
Senang melihat anak bangsa bahu membahu menolong sesama. Batasan suku agama dan
ras tidak terlihat lagi. Bahkan isu primordialisme dan isu-isu agama tidak
muncul. Semua melayani sebuah kebenaran universal bahwa ajaran budaya dan agama
mengarah pada kembalinya fitrah manusia itu sendiri. Ini yang harusnya ada pada
saat bangsa ini dalam keadaan tenang. Semoga tidak hanya terjadi saat bencana
saja. Kalau iya akhlak bangsa hanya baik saat ada “musuh bersama”, sayangnya
bila itu yang menjadi realita, tanpa musuh bersama maka kawan akan berubah
menjadi musuh. Ayo Bhinneka! Ayo Indonesia!”
Gue:
"Oke sip, mas! Sekali lagi terima kasih banget buat jawaban dan
info-infonya. Semoga bermanfaat bagi saya pribadi, dan syukur-syukur bermanfaat
juga bagi temen-temen yang lain. Sukses selalu, mas. Salam Indonesia!”
Ya, begitu lah tanya-jawab gue
berikutnya dengan Amri. Dari dua percakapan tadi, agaknya banyak sekali info,
pengetahuan, dan pesan-pesan yang harusnya dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terakhir, gue nulis post ini gak
semata-mata karena gue orang NU. Oke, memang gue orang NU dan pengikut Gus Dur,
tapi gak cuma itu alasan gue nulis ini. Tapi juga untuk mengingatkan kembali
bagi gue pribadi dan lo semua akan jasa-jasa Gus Dur kepada bangsa ini. Kita
harus lanjutkan itu. Gak cuma kita yang NU saja, tetapi seluruh anak bangsa
harus ikut melanjutkan perjuangan Gus Dur agar terciptanya Indonesia yang lebih
baik. Indonesia lahir dari keberagaman, biarkan tetap hidup dalam keberagaman. Jangan
paksakan keberagaman ini menjadi satu faham yang memaksa. Junjung tinggi keberagaman
yang harmonis, yang bersahabat, seperti yang Gus Dur inginkan, seperti yang
kita inginkan, dan seperti yang bangsa ini inginkan. Salam Indonesia!
Terima kasih, dan wassalam.
0 komentar :
Post a Comment