High School Damn Memories

Ini adalah buku pertama gue. Meskipun masih self-publishing dan terkesan belum maksimal, tapi gue sudah cukup bersyukur telah menghasilkan karya sebesar ini. Jika ingin membacanya, silahkan hubungi saya, dan pesan bukunya sekarang juga!

Muhammad Zopi CP17 the Close-Up Illusionist

Salah satu hobi terbesar gue adalah sulap. Gue menguasai hampir semua jenis aliran sulap, tapi lebih fokus di Close-Up Illusion atau ilusi jarak dekat. Silahkan lihat artikel dan video aksi sulap gue di sini!

Islam Aswaja NU

Organisasi Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama. NU terkenal dengan amalan sunnah-sunnahnya yang sangat banyak. Dan alhamdulillah, gue juga salah satu dari jutaan pengikut NU. Sedikit info mengenai NU bisa lo baca di sini!

Monday, February 18, 2013

Siang di Seberang Istana-istana


Belum lama ini gue liburan UAS semester 5, dan tentu saja gue pulang kampung ke Pekalongan. Dan kebetulan gue sempet jalan-jalan ke pusat kota. Di sana gue lihat pemandangan yang biasa. Ya pemandangan biasa yang sangat biasa. Dan seperti biasanya lagi, saya merasa sedih melihatnya. Ya, hanya bisa merasa sedih seperti biasanya. "Sebenernya apa sih yang lo lihat, Zop?" Gue lihat seorang bapak-bapak duduk lesuh di pinggiran alun-alun kota. Beliau adalah seorang tukang sol dan semir sepatu, kawan. Beliau duduk, bengong melompong, melihat orang-orang yang tertawa bahagia sambil turun dari mobil-mobilnya, dan hendak masuk ke mall dan toko-toko mewah di sekitar sana. Beliau melihat mereka, tapi terlihat jika pikirannya entah lagi dimana. Ya, sekali lagi gue cuma bisa merasa sedih dan iba. Tanpa bisa membantu apa-apa.

Dan kemaren, hari Rabu, gue kuliah Audit Keuangan Sektor Pemerintah untuk pertama kali. Namun seperti kuliah mata kuliah yang lainnya, ya seperti biasa, gue gak dengerin apa yang dosen gue omongin. Seperti biasanya gue cuma corat-coret gak pasti. Dan saat itu, entah kenapa gue jadi teringat Bapak tukang sol-semir yang di Pekalongan tadi. Dan akhirnya gue ambil selembar isi binder kosong, dan gue bikin lah gambar ini.

Gambar ini gue kasih judul "Siang di Seberang Istana-istana". Dan gue kasih puisi, yang gue ambil dan gue edit dari lagunya Bang Iwan Fals yang berjudul Siang Seberang Istana. Ya, intinya ini adalah sebuah bentuk rasa sedih gue melihat Bapak sol-semir tadi. Memang hanya ini yang bisa lakuin. Setidaknya untuk saat ini. Semoga suatu saat nanti, gue bisa memberi sesuatu yang lebih berarti bagi beliau dan saudara-saudara senasib. Dan semoga beliau-beliau ini berhak diangkat derajatnya oleh Allah SWT, baik di dunia maupun akhirat. Amin ya Robbal 'alamin.


"SIANG DI SEBERANG ISTAN-ISTANA"

Seorang tua bertubuh dekil
Terbengong memangku tangan
Tertabur debu jalanan

Sebotol air bersebelah berdiri
Kawan setia sehabis bekerja
Siang di seberang istana-istana

Kotak sol semir yang sama dekil
Benteng rapuh dari lapar memanggil
Gardu dan mata para penjaga
Saksi nyata yang sudah terbiasa

Sombong melangkah istana yang megah
Seakan meludah di atas tubuh yang resah
Ribuan jerit di depan hidung dan matamu
Namun yang ku tahu, tak terasa mengganggu

Gema adzan Ashar sentuh telinga
Buyarkan bengong si tua siang tadi
Dia berdiri malas melangkahkan kaki
Diraihnya harapan digenggam tak dilepaskan lagi

Diambil dan diedit dari: Siang Seberang Istana, oleh Iwan Fals.

Tuesday, February 12, 2013

Tanya Jawab Seputar Gus Dur dan Keberagaman


Gong Xi Fa Cai, selamat tahun baru Imlek! “Yahhh Zop, lo telat amat hari gini baru ngucapin. Kan tahun baru Imleknya udah kelwat.” Iya maklum, gue kan orangnya sibuk. Lagian kalau gue baru ngucapi sekarang gak ada salahnya kan? Yang penting adalah ucapannya, bukan kapan ngucapinnya. Menurut gue sih.

Oke, ngomongin soal Imlek. Ya, tahun ini Imlek jatuh pada hari Minggu kemaren, tanggal 10 Februari. Nah kebetulan hari itu gue seharian berada di perjalanan dari kampung halaman menuju ke pinggiran Jakarta karena liburan semester 5 udah selesai. Jujur aja, gue lupa kalau hari itu adalah tahun baru Imlek. Begitu sampai kosan sorenya, gue cuma duduk bentar. Abis maghrib, gue langsung cabut karena udah janji mau ngajar les murid gue. Abis ngajar, belum sempet ngapa-ngapain, cuma sempet sholat isya doang, gue langsung diajak temen-temen IMAN (Ikatan Mahasiswa Nahdliyin) buat menghadiri peringatan Maulid Nabi di Bintaro sektor 9 dengan pembicara Bapak KH. Hasyim Muzadi waktu itu. Tentu saja gue gak pakai pikir panjang dan langsung nurutin ajakan itu. Baru lah sepulang dari sana gue sempet buka laptop, dan seperti biasa cuma buka Facebook dan Twitter. Tapi ada yang menarik di sana. Terutama di Twitter, banyak sekali twit yang berisi tentang “Gus Dur” dan “Imlek”. Oh ya benar, gue jadi inget bahwa guru kita, Gus Dur, pernah berjasa besar dalam memperjuangkan “publikasi” Imlek di Republik Indonesia ini. Nah dari melihat twit-twit itu lah, otak gue jadi terbesit buat bikin postingan yang berisi tanya-jawab tentang Gus Dur dan Imlek ini.

Tanya-jawab, gue sebagai penanya, dan tentu harus ada pihak yang menjawab dong. Dan gue pilih lah temen gue, Fransiskus Indra Pratama. Dia adalah temen gue yang juga kuliah di STAN, kita sama-sama pesulap, dan dia mempunyai garis keturunan Tionghoa. Nah cocok banget kan? Sebenernya sih banyak yang bilang kalau muka gue juga mirip Tionghoa, tapi masa iya gue yang nanya, gue juga yang jawab. Jadi aneh kan? “Lo ngomong gitu lagi gue mutilasi sumpah, Zop!” Hahahaha iya iya bercanda. Nah, berhubung si Indra gak keberatan dan bersedia untuk gue tanyain, langsung gue tanya-tanya ke dia. Dan kita simak tanya-jawab tersebut sekarang juga!


Gue:
“Oke ndra. Pertanyaan pertama. Apa arti Imlek beserta perayaannya bagi temen-temen Tionghoa?”

Indra:
“Imlek tuh perayaan tahun baru. Kan pas Imlek tepat tanggal 1 tahun Cina tuh. Ya kayak tahun baruan biasa. Kita keluarga besar kumpul-kumpul terus makan-makan.”


Hmmm jadi mirip tahun baru Hijriyah gitu kali ya? Kita kumpul berjamaah buat membaca doa-doa bersama dilanjut makan-makan buat tasyakuran gitu. Oke, next!


Gue:
“Oh ya, kira2 apa yang dirasain masyarakat Tionghoa ketika dulu perayaan Imlek sempet dilarang untuk dilakukan secara umum?”

Indra:
“Ya pastinya merasa didiskriminasikan, tertekan, dan marah lah.”

Gue:
“Iya pastinya ya? Nah itu kan gara-gara Inpres Nomor 14 Tahun 1967 kan ya? Sebagai warga RI yang juga keturunan Tionghoa, gimana tanggapan lo atas peraturan tersebut?”

Indra:
“Eh peraturan apaan itu? Gue kok gak tahu.”

Gue:
“Yaelah kok lo malah gak tahu tuh gimana? Itu peraturan yang isinya pembatasan perayaan masyarakat Tionghoa.”

Indra:
“Hahaha ya maklum. Gue kan hidup udah pada masa damai.”

Gue:
“Oke deh lanjut aja kalau gitu. Nah, Inpres tersebut dicabut oleh Gus Dur, kira-kira sosok seperti apakah Gus Dur ini bagi lo pribadi dan temen-temen Tionghoa?”

Indra:
"Gus Dur adalah sosok yang mau menerima dan menghargai perbedaan. Dan sosok yang sangat berjasa sehingga terbukanya kesempatan untuk mengekspresikan diri sebagai orang Tionghoa.”

Gue:
“Maaf nih, ndra. Sedikit keluar dari masalah Imlek. Gue pernah lihat sendiri di youtube bahwa Gus Dur mendukung Pak Ahok waktu nyalonin jadi gubernur Bangka Belitung tahun 2007. Tapi kemarin ada "beberapa golongan" Islam, yang seakan tidak setuju pencalonan Pak Ahok sebagai Cawagub DKI. Apa tanggapan lo mengenai hal ini?”

Indra:
“Mmmm kalo gue pribadi sih biasa-biasa aja. Gue ngeliat itu cuma isu untuk menarik dukungan pada pasangan yang lain. Toh ini negara indonesia, negara multikultural. Asal dia WNI maka dia dapat mencalonkan diri dong.”

Gue:
“Iya bener banget. Oh ya, ngomong-ngomong kalau pada waktu sekarang ini, maaf ya, masih ada gak hal-hal yang “berbau” diskriminasi bagi masyarakat Tionghoa?”

Indra:
“Oh ya menurut gue ada. Jadi gini ceritanya. Waktu nyokap gue mau bikin paspor kemaren, di situ disuruh nyertain surat keterangan sudah WNI, dan juga surat keterangan orang tuanya juga. Padahal dari lahir sudah di Indonesia.”

Gue:
“Maaf nih, ndra. Intinya nyokap lo "seolah dianggap" bukan WNI gitu?”

Indra:
“Gak ngerti dah. Emang susah sih kalo muka Cina. Wkwkwkwk. Pokoknya pas bikin paspor gitu lah, diminta surat keterangan WNI, terus surat sudah melepaskan kewarganegaraan Tionghoa nya engkong.”

Gue:
“Wah parah banget berarti ya. Oke pertanyaan terakhir nih. Waktu peringatan 1000 hari meninggalnya Gus Dur, di situ banyak hadir temen-temen Tionghoa, baik yang muslim maupun yang non muslim. Di sana Gus Mus menyuruh kami, orang NU dan pengikut Gus Dur, untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur atas temen-temen Tionghoa. Nah, kira-kira apa yang "masih" perlu kami lakukan buat melanjutkan perjuangan itu?”

Indra:
“Mmmm gue kan sebagai mahasiswa tingkat akhir di STAN, yang bentar lagi terjun di dunia birokrat. Gue sepintas ngeliat, orang-orang yang keturunan tuh seperti di nomer-dua-kan bahkan kalo perlu dipersulit ini itunya di dunia birokrasi. Gue sih berharap teman-teman dari NU mau membantu juga dalam menyamaratakan warga keturunan maupun warga asli.”

Gue:
“Oke thanks banget, ndra. Semoga bermanfaat bagi gue pribadi dan syukur-syukur manfaat juga bagi temen-temen yang laen. Sukses selalu.”

Indra:
“Oke sip sama-sama.”


Nah kisanak, jadi itu tadi sedikit tanya-jawab gue dengan temen gue mengenai Gus Dur dan Imlek. Nah tapi gue gak berhenti di sini. Soalnya kalau ngomongin tentang Gus Dur, tentu gak cuma Imlek yang kita bicarakan. Tapi juga seluruh keberagaman dan perbedaan yang selalu diperjuangkan oleh beliau. Nah maka dari itu gue minta tolong sama temen gue lagi, Amri, untuk menjadi penjawab dari pertanyaan-pertanyaan gue lainnya. Amri adalah temen sekelas gue sekarang, dia adalah seorang Kristian, tapi juga mengagumi sosok Gus Dur. Kalau lo masih inget, dia adalah temen yang dulu menanyakan ke gue kenapa gue mengucapkan selamat Natal ke dia, padahal gue adalah orang Islam. Oke langsung aja, kita simak tanya-jawab gue dengan Mas Amri ini.


Gue:
“Mas, mas kan kagum gitu sama Gus Dur, nah menurut mas, Gus Dur itu sosok yang gimana?”

Amri:
“Ya gak jauh beda dengan kabar pada umumnya. Menurut saya pribadi, Gus Dur itu sosok yg luar biasa. Benar-benar bapak pluralisme yg bisa dibilang pahlawan bagi kaum-kaum minoritas. Bahkan baru-baru ini beliau dapat anugerah "Legacies of Pluralisme, Diversity and Democracy' (Pusaka-pusaka Pluralisme, Kebhinnekaan, dan Demokrasi). Sungguh pencapaian yg luar biasa.

Gue:
“Wah mas sampai tahu segitunya. Hebat. Oke mas, kemaren kan kita baru saja diramaikan dengan perayaan Imlek. Dan kita tahu, Gus Dur berperan dalam mempublikasikan Imlek di Indonesia. Menurut mas, apa yang dirasakan temen-temen Tionghoa dengan adanya peran Gus Dur ini?”

Amri:
“Kalau ngomong perasaan masyarakat Tionghoa saya tidak tau “pasti”, mas. Karna saya sendiri bukan orang Tionghoa. Hahahaha. Namun, menurut terkaan saya, perasaan mereka  senang, gembira, dan bahagia. Mungkin kalau dulu tidak ada Gus Dur, jumlah penduduk Tionghoa yg ada di Indonesia sekarang, bisa dibilang tinggal hitungan jari saja.”

Gue:
“Hmmm oke lanjut. Sekarang gak lagi ngomongin Imlek. Sebagai umat Kristiani, yang mas rasakan ada gak peran nyata Gus Dur dalam membantu teman-teman Kristiani?”

Amri:
“Salah satu peran Gus Dur yang masih jelas dan masih terkenang-kenang dalam  ingatan  saya adalah dalam hal pembangunan rumah ibadah, mas. Dan ini saya alami sendiri. Sekedar sharing aja nih, mas. Dulu zaman pra Gus Dur, di daerah saya, untuk bangun rumah ibadah bagi kaum minoritas terbilang sulit, berbeda dengan kaum mayoritas. Saya tidak bermaksud menyalahkan agama apapun. Karna saya yakin tidak ada agama yg tidak baik. Namun, orang-orang yang menjalankannyalah yg terkadang “kurang baik”. Ya syukur pada Yang Maha Kuasa, setelah ada Gus Dur, pembangunan rumah ibadah di daerah sya lebih mudah atau tidak dipersulit seperti sebelumnya. Dan saya pernah dengar perkataan beberapa orang tua di daerah saya, kata mereka, Gus Dur pernah bilang, “kenapa kalau untuk bangun rumah ibadah kaum mayoritas itu mudah, tapi untuk kaum minoritas cenderung dipersulit”. Namun saya gak tau perkataan itu benar atau tidak diucapkan beliau, yang pasti perkataan itu sudah tidak asing lagi di daerah saya, mas.”

Gue:
“Wah ternyata mas ngerasain sendiri yang kayak gitu ya. Tapi syukur kalau sekarang udah gak gitu lagi. Oke pertanyaan berikutnya. Sebagai referensi dan pengetahuan saya, setahu mas, ada gak kegiatan-kegiatan yang dilakukan temen-temen non muslim yang merupakan wujud kagum dan rasa terima kasih kepada Gus Dur?”

Amri:
“Mungkin yang saya tahu dan sudah alami langsung  adalah gelar do’a bersama buat alamarhum. Kalau wujud langsung sebagai rasa terima kasih kepada almarhum saya kurang begitu tahu, mas. Namun, saya yakin itu “pasti ada”.  Lagi pula wujud terimakasih itu tidak selamanya berupa materi dan uang kan? Bisa aja dalam berupa penerimaan ajaran beliau. Contohnya, kalau di daerah saya itu, dulunya kaum  mayoritas dan minoritas itu tidak terlalu begitu kompak, mas. Tapi sekarang ini, semenjak ada beliau, hubungan antara kaum  mayoritas dan  minoritas itu dekat sekali. Contohnya, kalau ada teman Muslim yang melakukan pesta pernikahan, maka yg Kristen nya ikut membantu dan yg Muslim sangat menerima. Dan begitu juga sebaliknya. Padahal kita tahu, di daerah lain, maaf, jangankan mau membantu, tidak semua kaum mayoritas mau menyentuh piring tempat makan orang Kristen.”

Gue:
“Wah syukur banget berarti. Pertanyaan terakhir. Saya dan temen-temen lain sebagai NU dan pengikut Gus Dur, sudah sepantasnya meneruskan perjuangan beliau. Kira-kira ada masukan apa buat kami untuk secara nyata melanjutkan perjuangan Gus Dur tersebut?”

Amri:
“Harapan saya semoga NU dan pengikut Gus Dur “benar-benar” melanjutkan perjuangan almarhum. Artinya, pengikut NU dan Gus Dur itu harus sepaham dulu karna bisa aja kan mas kalau dalam internalisasi organisasi itu terdapat perbedaan pendapat. Namun ada baiknya perbedaan itu diminimalisir. Sukses selalu. Do’a kami di nadimu para pengikut NU.”

Gue:
“Oke terima kasih banget mas.”

Amri:
“Oh ya, kalau boleh Sedikit tambahan, mas. Contoh konkret ajaran Gus Dur yang bisa saya ambil dari peristiwa kemarin, banjir Jakarta, adalah Senang melihat anak bangsa bahu membahu menolong sesama. Batasan suku agama dan ras tidak terlihat lagi. Bahkan isu primordialisme dan isu-isu agama tidak muncul. Semua melayani sebuah kebenaran universal bahwa ajaran budaya dan agama mengarah pada kembalinya fitrah manusia itu sendiri. Ini yang harusnya ada pada saat bangsa ini dalam keadaan tenang. Semoga tidak hanya terjadi saat bencana saja. Kalau iya akhlak bangsa hanya baik saat ada “musuh bersama”, sayangnya bila itu yang menjadi realita, tanpa musuh bersama maka kawan akan berubah menjadi musuh. Ayo Bhinneka! Ayo Indonesia!”

Gue:
"Oke sip, mas! Sekali lagi terima kasih banget buat jawaban dan info-infonya. Semoga bermanfaat bagi saya pribadi, dan syukur-syukur bermanfaat juga bagi temen-temen yang lain. Sukses selalu, mas. Salam Indonesia!”


Ya, begitu lah tanya-jawab gue berikutnya dengan Amri. Dari dua percakapan tadi, agaknya banyak sekali info, pengetahuan, dan pesan-pesan yang harusnya dapat bermanfaat bagi kita semua.

Terakhir, gue nulis post ini gak semata-mata karena gue orang NU. Oke, memang gue orang NU dan pengikut Gus Dur, tapi gak cuma itu alasan gue nulis ini. Tapi juga untuk mengingatkan kembali bagi gue pribadi dan lo semua akan jasa-jasa Gus Dur kepada bangsa ini. Kita harus lanjutkan itu. Gak cuma kita yang NU saja, tetapi seluruh anak bangsa harus ikut melanjutkan perjuangan Gus Dur agar terciptanya Indonesia yang lebih baik. Indonesia lahir dari keberagaman, biarkan tetap hidup dalam keberagaman. Jangan paksakan keberagaman ini menjadi satu faham yang memaksa. Junjung tinggi keberagaman yang harmonis, yang bersahabat, seperti yang Gus Dur inginkan, seperti yang kita inginkan, dan seperti yang bangsa ini inginkan. Salam Indonesia!
Terima kasih, dan wassalam.